Skeptisisme: Seni Menunda Penilaian

Where did we come from?
Why are we here?
Where do we go when we die?
What lies beyond
And what lay before?
Is anything certain in life?

Penggalan lagu “Spirit Carries On” dari Dream Theater di atas dapat mewakili ungkapan kegelisahan manusia selama masa hidupnya. Ungkapan tersebut merupakan pertanyaan eksistensial manusia yang bermuara pada dua perenungan utama, yaitu mengenai apa itu kebenaran dan bagaimana melalui pengetahuan terhadapnya seseorang dapat memperoleh kedamaian batin. Kegundahan eksistensial acap kali muncul ketika seorang manusia berada dalam persimpangan yang menjadi titik kritis dalam hidupnya. Mungkin ia sedang terjebak dalam dilema pilihan hidup ataupun cengkraman pengalaman traumatik. Dalam fase ini, ia sadar bahwa kehidupan begitu aneh dan penuh dengan misteri layaknya lorong labirin panjang nan gelap. Kesadaran ini membuatnya takut dan tak berdaya. Tak nyaman atas perasaan ini, muncul hasrat kuat untuk memperoleh sebuah pengetahuan yang pasti agar dapat dijadikannya sebagai sandaran dalam menjalani kehidupan. Pengetahuan yang pasti ingin digenggam erat seumur hidupnya dengan harapan bahwa kepastian absolut tersebut dapat secara final menenangkan batin yang bergejolak. Namun, benarkah bahwa kedamaian batin dapat diperoleh melalui sebuah pengetahuan yang pasti akan kebenaran sehingga hasrat terhadap keduanya dapat dilegitimasi?

Kepastian dan Dogmatisme

Hasrat akan sebuah kepastian dalam pengetahuan seringkali menjadi ambisi tak sehat yang menjerumuskan manusia ke dalam jurang dogmatisme. Dogmatisme merupakan sikap menutup diri terhadap berbagai kemungkinan lain ketika seseorang merasa bahwa hanya pengetahuan miliknyalah yang absolut. Karenanya, seorang dogmatik tak pernah siap dalam menghadapi perubahan diri dan lingkungannya. Saat menghadapi konflik dalam diri, jarang ia luangkan waktu yang cukup untuk berkontemplasi secara jujur dan kritis dengan dirinya sendiri. Keputusan mengenai identitas dirinya dibuat serampangan dengan keyakinan yang terlampau tinggi. Di samping itu, ketika menghadapi perubahan lingkungannya, sungkan ia peduli akan kekompleksan realitas. Alih-alih memandang realitas dalam variasi spektrum melalui berbagai kriteria penilaian, dipandangnya realitas dalam kebineran hitam atau putih melalui kacamata standar penilaian miliknya yang selalu ingin paling dominan.

Sebagai pecinta kepastian, seorang dogmatik hanya berfokus pada konklusi atau hasil akhir. Saking tergesa-gesa mendapatkan konklusi, argumentasi di balik konklusi tak secara serius disentuhnya. Proses panjang penyelidikan mendalam tak mampu dinikmatinya karena terdapat keengganan membuat diri kembali ragu. Ia seringkali sekedar mengutip konklusi dari otoritas ternama tanpa peduli jalannya argumentasi. Meskipun konklusi yang dihasilkannya sama, pada akhirnya konklusi yang muncul dari dirinya tetap saja berlandaskan argumentasi cetek. Lebih dari itu, kerap kali ia pun takut melihat realitas yang penuh dengan triliunan variabel lain, baik yang terpikirkan maupun tak terpikirkan olehnya, karena kenyataan itu dapat membuat konklusinya tak lagi bermakna. Ketakutan ini ia samarkan dalam sikap arogan seorang pengklaim kebenaran yang merasa bahwa kacamata kudanya dalam melihat realitaslah yang terbaik.

Daya imajinasi seorang dogmatik sangat terbatas karena keengganannya untuk melihat ke luar teralis besi pikirannya. Status quo dianggapnya sebagai sesuatu yang alamiah dan tak bisa diubah. Ia pikir dirinya merupakan seorang realis, padahal ia hanyalah seorang pemalas yang membiarkan orang lain berpikir untuk dirinya dan seorang pengecut yang takut akan alam bebas pikirannya sendiri. Kemalasan membuatnya tak pernah bereksperimen untuk dirinya sendiri dan ketakutan membuatnya menghindari berbagai kemungkinan inovatif. Kebaruan akan sebuah temuan maupun kebaruan akan sebuah interpretasi terhadap temuan lama seakan tabu disentuhnya, terutama bila hal tersebut dapat menghancurkan kepastian fundamental bangunan pikirannya.

Kedamaian Batin Semu

Konsekuensinya, kedamaian batin yang dimiliki seorang dogmatik begitu semu. Kedamaian batin semu hanya berada di ranah konseptual yang begitu statis, kaku, dan anti revisi. Karenanya, ia tak dapat dialami secara konkret. Kedamaian batin semu pun tak mencerminkan keunikan orisinal yang mengakar. Seorang dogmatis hanya mengikuti kriteria kedamaian batin yang ditentukan orang lain sehingga apa yang ia alami pada dasarnya bukanlah kedamaian batin, namun ambisi untuk mendapatkan pengakuan status semu dari orang lain. Ketika tak mendapatkannya, ia menderita karena mengejar mati-matian hal tersebut. Ketika mendapatkannya pun, ia menderita karena mempertahankan mati-matian hal itu.

Selain itu, kedamaian batin semu dapat pula berupa pelarian diri dari realitas karena keputusasaan dan kehampaan mendalam. Merasa bahwa semua usaha sia-sia dan tak bermakna dalam menanggulangi penderitaan yang datang bertubi-tubi, seorang dogmatik menarik dirinya. Ia tak mau berkecimpung dalam realitas yang baginya begitu jijik untuk disentuh. Ia tarik batas secara ketat antara dirinya dan realitas seakan keduanya tak saling berinteraksi. Tembok pertahanan diri dibangun, tak sadar racun telah meresapi tubuhnya. Pengasingan diri ini bukanlah sebuah penarikan diri sejenak dari rutinitas sebagai simbol kontemplasi kebebasan diri yang unik, namun hanya topeng penutup keegoisan dan kekhawatiran menjadi rentan bila hidup dalam keanekaragaman. Kabur dari realitas disamakannya dengan kedamaian batin.

Keraguan dan Skeptisisme

Saat ambisi akan kepastian menjatuhkan seorang manusia ke curamnya jurang dogmatisme dan muslihat kedamaian batin semu, skeptisisme dapat dijadikan obat penetralnya. Skeptisisme merupakan sebuah metode penundaan penilaian secara radikal, di mana tak ada klaim afirmasi maupun negasi mengenai segala sesuatu yang sedang diselidiki. Metode ini disebut radikal karena bahkan seorang skeptik tak bisa memberi klaim atas metodenya sendiri sebab hal itu justru membuatnya menjadi seorang dogmatik. Sebagaimana sebuah obat yang larut dan hilang dalam tubuh saat menjalankan fungsinya dalam melawan penyakit, skeptisisme pun perlu larut dan hilang saat menjalankan fungsinya dalam melawan dogmatisme. Karenanya, ketika seorang skeptik menyatakan sesuatu, apa yang ia nyatakan hanyalah sekedar laporan pengalaman pribadi. Di dalamnya tak terdapat sebuah klaim sehingga hal yang dinyatakan pun tak pernah bersifat final atau absolut.

Didorong oleh rasa penasaran, pada awalnya seorang skeptik mempertanyakan segala sesuatunya. Ia membandingkan pernyataan satu dengan pernyataan lainnya, interpretasi satu dengan interpretasi lainnya, kriteria penilaian satu dengan kriteria penilaian lainnya, dan juga subjek peneliti satu dengan subjek peneliti lainnya. Berhadapan dengan semua itu, ia melihat bahwa segala sesuatu yang dioposisikan bernilai setara karena hal fundamental yang dijadikan kerangka atau landasan pengetahuan tak dapat dilegitimasi sehingga klaim tak dimungkinkan. Akhirnya, seorang skeptik memilih untuk mempertahankan keraguannya dengan terus-menerus menunda penilaian.

Meski begitu, bukan berarti seorang skeptik diam dan menyerah dalam ketidakberdayaan. Tanpa ambisi mendapatkan sebuah kepastian, seorang skeptik yang secara literal memang berarti penyelidik, tetap melakukan penyelidikan. Bersamaan dengan itu, ia menggunakan ungkapan: “Jika kriteria x,y,z digunakan, maka setidaknya untuk saat ini terlihat bagiku bahwa a,b,c”. Bentuk ungkapan ini bukanlah klaim afirmasi atau negasi mengenai sesuatu yang bersifat final dan absolut, namun merupakan laporan non dogmatis berdasarkan pengalaman pribadinya saat penyelidikan berlangsung. Karenanya, revisi ataupun perombakan menyeluruh atas hasil sementara penyelidikan tersebut sangatlah dimungkinkan dan justru disambut dengan tangan terbuka.

Kedamaian Batin Alamiah

Berbeda dari seorang dogmatik yang melekatkan dirinya pada sebuah cara pandang demi pengetahuan yang pasti atas konklusi akhir, seorang skeptik justru lebih menikmati proses bongkar pasang argumentasi melalui beranekaragam perspektif. Seorang skeptik memang serius dalam membangun kastil pasir pantainya. Ia memperhatikan sebanyak mungkin variabel yang dibutuhkan agar kastil itu berdiri dengan kokoh. Namun, di saat yang sama ia pun sadar bahwa banyak variabel lain yang terpikirkan maupun tak terpikirkan olehnya, seperti ombak, angin kencang, atau hal-hal lainnya, dapat seketika saja menghancurkan kekokohan kastil pasirnya. Walau begitu, ia tak risau karena sadar bahwa ia memang sedang bermain pasir di pantai. Tampak baginya bahwa sebuah permainan dapat dinikmati hanya bila ia dimainkan secara serius, namun juga santai.

Uniknya, dalam proses tersebut kedamaian batin yang tak lagi diharapkan justru muncul seketika, sebagaimana bayangan mengikuti tubuh. Kedamaian batin ini berjalan seiring dengan momen ketika seorang skeptik tetap menjalani kesehariannya secara alamiah dengan mengikuti apa yang tampak baginya, tanpa klaim fundamental atas hal tersebut. Kealamiahan di sini bukanlah menjalani hidup selaras hakikat dari segala sesuatu, namun sekedar membiarkan diri dituntun dengan apa yang setidaknya di momen itu terlihat jelas baginya. Dalam ranah teoretis ia dapat mempertanyakan mengapa dan bagaimana sebuah makanan dapat mengenyangkannya, namun dalam ranah praktis ia sekedar menikmati makanan dan perut kenyangnya.

Kedamaian batin yang dialami seorang skeptik sepertinya merupakan hasil sampingan dari penerimaan realitas apa adanya yang terbuka atas segala macam kemungkinan. Kedamaian batin ini tidaklah disengaja dan kemunculan tiba-tibanya tak dapat dihindari. Penitikberatan pada kenikmatan menjalani proses mungkin dapat berimbas pada lenyapnya tegangan antara ekspektasi dan hasil akhir. Walau demikian, seorang skeptik tak akan memberi klaim bahwa metodenyalah yang paling efektif dalam menghasilkan kedamaian batin. Semua hal ini hanyalah laporan pengalaman pribadinya yang akan berlangsung seumur hidup.

I may never find all the answers
I may never understand why
I may never prove
What I know to be true
But I know that I still have to try

Aachen, 19 April 2024

Leave a comment