Politik, Demi Kekuasaan atau Keadilan?

https://unsplash.com/de/fotos/silhouette-der-person-TzVN0xQhWaQ?utm_content=creditShareLink&utm_medium=referral&utm_source=unsplash

Politik, sebuah kata yang selalu menimbulkan kesan paradoksal. Di satu sisi, ia berkaitan dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, kata tersebut seringkali dipersepsikan negatif. Ambisi memperoleh kekuasaan dianggap tidak elok karena mereka yang dikuasai tak jarang merasa ditindas dan ditipu oleh sang penguasa. Namun, di sisi lain politik dapat pula berkaitan erat dengan keadilan. Persepsi positif pun muncul karena terdapat harapan bahwa para penguasa mau mengorbankan segenap kemampuan mereka agar tercipta sebuah tatanan sosial yang adil dan sejahtera.

Politik demi Kekuasaan

Para politisi dapat menganggap bahwa hal terpenting dari politik ialah peraihan kekuasaan dan usaha mempertahankannya. Kekuasaan menjadi sebuah keutamaan. Demi meraih kekuasaan serta mempertahankannya, para politisi dalam kubu ini tak segan menggunakan berbagai cara. Mereka memang ahli dalam merancang berbagai strategi demi popularitas semata. Kompetensi maupun rekam jejak mumpuni tak lagi penting karena siapapun digaet untuk perolehan suara. Mereka yang diajak pun tak malu untuk langsung menceburkan diri sebagai calon penguasa, entah karena kenarsisan, keyakinan mendapat kembali modal investasi dengan profit yang menggiurkan, maupun kepentingan memperoleh kekebalan hukum atas kasus kriminal yang dihadapinya. Berbagai jargon pun digunakan dan dipoles sedemikian rupa, meskipun identitas yang dilekatkan hanyalah topeng semata.

“Berjuang untuk kepentingan wanita”, meski ia tak paham sama sekali sejarah maupun makna dari emansipasi wanita. Cara berpikirnya pun belum lepas dari dominansi budaya otoritatif yang selalu ingin mengontrol dengan dalih kodrat. Dalam pakaian seremonial, disebutnya berbagai tokoh wanita tanpa tahu apa yang sebenarnya mereka perjuangkan. Terlahir sebagai seorang wanita, tak membuatnya paham akan solidaritas perjuangan wanita.

“Maju bersama wong cilik”, meski ia tak paham betapa mengenaskannya hidup dalam kemiskinan sebagai akibat dari jurang kesenjangan kesejahteraan yang terlalu dalam. Saat blusukan ia sejajarkan kerja keras dan perjuangan dirinya dengan apa yang dilakukan wong cilik, tak sadar bahwa selama ini hidupnya selalu diuntungkan oleh privilese. Hidup nyaman dalam gelembung privilese melunturkan empatinya untuk berpihak terhadap kelompok marginal.

“Menjadi generasi muda yang progresif dan optimis”, meski ia tak pernah mempelajari bagaimana dialektika ide-ide dapat bertransformasi menjadi gerakan-gerakan revolusioner dunia. Apa yang dipedulikannya hanyalah penggalangan massa semata demi perolehan suara, bukan sebuah perubahan sosial yang berkepanjangan. Ia dimanjakan oleh segala yang cepat dan instan, dikiranya isu kemajuan teknologilah yang terpenting. Tak terlintas dalam benaknya bahwa seorang visioner harus terus berproses agar mampu menerobos cara pikir generasi masa depan yang lebih mengedepankan isu kemanusiaan dan lingkungan.

“Menjunjung tinggi budaya bangsa”, meski ia tak pernah tahu esensi dari berbagai ritual, tidak kritis, dan anti perubahan. Dalam benaknya, berbagai nilai yang ada saat ini berlangsung konstan sejak awal dan tidak tercampur satu sama lain. Pikirannya begitu kolot dan sempit akibat dari kepatuhan buta dan sikap ikut-ikutan, bukan hasil dari kemandirian berpikir. Kerap kali ia gunakan identitas budaya sebagai pernak-pernik semata.

Para politisi pemakai topeng ini tak pernah malu akan topeng yang dipakainya karena ia tak terbiasa jujur pada dirinya sendiri. Ia pada dasarnya takut bercermin tanpa topeng karena di momen itulah buruk rupa dirinya dapat terkuak. Seringkali ia merasa bahwa tak ada alternatif jalan hidup lain yang dapat ditempuhnya. Ia hibur dirinya dengan meyakinkan diri bahwa apa yang dilakukannya adalah demi keluarga, demi keutuhan bangsa, atau demi alasan-alasan palsu lainnya.

Layaknya dalam sebuah permainan, para politisi ini mengkalkulasikan kemungkinan kemenangannya. Bila monopoli kekuasaan tak dapat didapatkan, mereka siap untuk menikam lawan maupun merangkul lawan, tergantung mana yang lebih efektif untuk memaksimalkan kekuasaan. Saat menikam, berbagai bisnis lawan politik digembosi, kendaraan politik diperlemah melalui adu domba, kriminalisasi dilakukan, penyadapan ilegal dilakukan, dan dosa-dosa musuh mulai diungkap. Saat merangkul, sang penguasa dengan senang hati berbagi jatah kue tanpa peduli apakah lawan politiknya pernah mengkampanyekan hal yang bertentangan. Kompromi yang dilakukan bukanlah kompromi ide, namun kompromi jatah kekuasaan. Tujuan utamanya demi mempertahankan kekuasaan yang sering mereka balut dengan frasa “demi stabilitas”.

Pada akhirnya, kekuasaan pun menjadi candu. Ketika waktu kekuasaan mereka habis, berbagai cara dilakukan agar kekuasaannya masih terus berlanjut. Nepotisme, otak-atik pasal, manipulasi data, lobi busuk ke sana ke mari, pengerahan buzzer, intimidasi, dan penggunaan aparat sipil negara pun menjadi hal lumrah. Tentu lagi-lagi hal ini harus dibalut dengan frasa “demi kelanjutan program kesejahteraan rakyat”.

Politik demi Keadilan

Menilik persepektif lain, politik dapat digunakan hanya sebagai alat untuk mencapai satu tujuan, yaitu keadilan. Dalam pandangan ini, sistem politik maupun ideologi tidaklah diperlakukan sebagai sebuah dogma yang kaku. Ia terus berkembang dan disesuaikan dengan perkembangan zaman maupun kedinamisan budaya setempat karena apa yang esensial ialah tercapainya keadilan sebagai sebuah keutamaan. Bahkan bila politik telah menjadi sebuah sistem yang menindas dan sulit untuk direvisi, peniadaan sistem dan perombakan ulang secara fundamental tidak menjadi sebuah hal yang tabu. Kedinamisan pun berlaku untuk definisi keadilan. Keadilan bukanlah sebuah keadaan konstan yang absolut dan final, namun merupakan proses kemenjadian. Konsep keadilan saat ini akan berbeda dengan konsep keadilan masa lalu maupun masa depan. Konteks selalu dijadikan variabel yang tak terpisahkan dalam mendefinisikan keadilan. Dengan demikian, para politisi tak akan menjadi seorang pemimpi yang menyandarkan dirinya pada angan-angan kesempurnaan utopis ataupun seorang oportunis yang tak tahu malu bermanuver demi kepentingan egois jangka pendeknya.

Untuk dapat bersikap dalam menghadapi sebuah kedinamisan tanpa jatuh ke dalam keplinplanan, para politisi perlu mempersenjatai dirinya dengan cara berpikir yang terbuka, reflektif, serta kritis. Keterbukaan membuatnya siap mendiskusikan tak hanya ide-ide inovatif, namun juga ide-ide lama dalam terang interpretasi baru. Ide yang berseberangan tak diperlakukan sebagai sebuah ancaman, namun justru sebagai pelengkap perspektif. Kemampuan berefleksi dapat membentuk seorang politisi yang konsisten karena keputusan yang diambilnya berasal dari proses bertahap yang membawanya masuk menuju kedalaman pikiran yang mengakar. Walau konsisten, ia sadar bahwa selalu terdapat anomali unik dalam realitas sehingga keputusan alternatif sebagai pengecualian dalam kasus-kasus tertentu tetaplah dimungkinkan. Keterbukaan dan kemampuan berefleksi ini tak terlepas dari sikap kritis. Ia tak pernah berhenti menantang ide-ide mapan yang berseliweran, baik ide dari dirinya maupun dari lawan politiknya. Kemandirian berpikir membuatnya siap bertanggung jawab menanggung konsekuensi dari keputusan bebasnya.

Menjadi Masyarakat Politis

Tak dapat dipungkiri bahwa pengalaman hidup kita sebagai masyarakat sipil merupakan dampak dari keputusan politik para elite. Kebebasan dan batasan kita dalam berbicara, berpakaian, berpindah tempat, berkumpul, bercinta, berkeluarga, berkreasi, dan tindakan lainnya merupakan hasil dari keputusan politik. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, makanan, energi, transportasi, informasi, ruang rekreasi, ruang hijau, relasi sosial, dan kepemilikan barang serta layanan lainnya pun sangat dipengaruhi oleh perpolitikan. Meski begitu, seringkali hal-hal esensial ini tak kita sadari secara penuh, entah karena kemalasan berpikir, kepengecutan, ataupun ketidakpedulian.

Masyarakat politis perlu memiliki sikap skeptis non apatis terhadap kekuasaan agar tak mudah dimanipulasi. Dengan kata lain, mengambil jarak dari kekuasaan dan selalu mencurigainya sangatlah penting agar kita dapat melihat secara jernih karena kekuasaan memang cenderung koruptif dan manipulatif. Kecenderungan ini tak hanya dimiliki oleh elite penguasa, namun juga oleh kita saat kita memiliki sedikit saja kekuasaan. Tentu banyak dari kita yang dengan mudahnya menggunakan kekuasaan dalam bentuk uang, kenalan, barang, jabatan, akses, retorika, atau apapun secara tidak etis demi kelancaran dan kemulusan dalam menyelesaikan berbagai perkara. Tak jarang pula kita justru berbangga atas hal itu dan merasa sudah sepatutnya kita mendapatkan berbagai privilese di saat dalam secuil jarak dan waktu dapat dengan mudah kita temukan ironi kehidupan.

Industri memproduksi makanan berlebihan yang ujung-ujungnya terbuang percuma hanya demi profit segelintir orang ketika masih banyak yang kelaparan, pasangan lulusan universitas bergengsi duduk nyaman di atas mobil yang dilingkupi udara segar dari pendingin ketika debu asap knalpotnya membuat pengap para pengamen anak yang tak bersekolah, dampak kehancuran bumi lebih dirasakan rakyat negara miskin ketika biaya yang seharusnya dapat digunakan untuk konservasi alam lebih diprioritaskan untuk proyek rekreasi antariksa yang hanya menguntungkan segelintir orang, barang mewah bermerek dipromosikan berlebihan serta diagung-agungkan ketika para pekerjanya mendapat gaji tak layak, pekerja berdasi dengan gaji mumpuni mengeluh atas kurangnya gaji untuk membayar kredit barang tersier ketika pekerja informal yang bekerja mati-matian masih harus berjibaku dengan kenaikan harga bahan baku dasar, penulis marah atas pembajakan dan kurangnya minat baca masyarakat ketika sebuah buku masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar kalangan, para artis melakukan operasi plastik karena ketidakpuasan terhadap hidung peseknya ketika korban perang harus pasrah kehilangan tangan dan kaki akibat serangan rudal, pengusaha kaya melakukan manipulasi laporan pajak dan menekan gaji buruh ketika penyediaan barang dan jasa publik masih kekurangan dana, seorang koruptor proyek tambang melobi keringanan hukum ketika seorang maling kelas teri waswas akan biaya sekolah anaknya bila ia tertangkap, politisi asyik berselingkuh di hotel berbintang ketika kegiatan bercinta di hotel melati kerap digerebek aparat, agamawan tak malu akan hartanya yang berlimpah ketika berkhotbah mengenai kesederhanaan dan keikhlasan menyumbang di hadapan umat miskin, para elite politik sudah bercengkerama mesra dengan lawan politiknya ketika massa pendukung mereka masih berkonflik atas situasi panas kampanye yang mereka ciptakan, pembangunan kawasan elite ketika kawasan kumuh di sekitarnya tak pernah disentuh, anak yang melalui sokongan privilese lebih mudah menjadi pintar ketika anak tanpa privilese harus hidup dalam lingkaran setan kebodohan, kelompok kelas sejahtera masih mencuri barang bersubsidi maupun sumbangan dana ketika rakyat miskin belum sempat menikmatinya, terdapat ungkapan “sultan mah bebas” untuk orang kaya ketika ada ungkapan “sudah dikasih hati minta jantung” untuk orang miskin, dan tentu masih banyak lagi ironi ketidakadilan yang mudah kita sebutkan.

Kita acap kali lupa dan menganggap sepele tindakan-tindakan yang sebenarnya berkontribusi terhadap ketidakadilan. Tentu derajat kesalahan yang kita lakukan tak dapat disamaratakan begitu saja dengan derajat kesalahan yang dilakukan oleh para tokoh yang memiliki pengaruh lebih luas. Namun, sangatlah menyedihkan bila kita sampai terbuai dengan hal itu dan justru menganggapnya sebagai sebuah kelaziman.

Politik memanglah campuran dari ide kekuasaan dan ide keadilan. Namun, fokus terhadap ide keadilanlah yang seharusnya lebih mendapat porsi besar karena hanya dalam ide keadilanlah sebuah pertarungan kekuasaan dapat dianggap berarti. Masyarakat politis perlu melihat politik dalam konteks ini agar sebuah perubahan sosial yang didambakan dapat terealisasi. Perlu dipahami bahwa perubahan sosial tak melulu muncul dari keputusan mereka yang di atas. Masyarakat politis tak boleh pasrah saat dimainkan sebagai pion semata. Berbagai kesadaran individual dalam mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi barang dan jasa tertentu, memilih atau tidak memilih pemimpin tertentu, maupun mengikuti atau tidak mengikuti aturan tertentu dapat pula secara akumulatif berdampak pada perubahan sosial. Tak ada pemimpin berkualitas yang turun begitu saja dari langit, ia perlu diciptakan melalui dukungan serta tuntutan. Masyarakat politis perlu sadar bahwa kebebasan individu yang telah dikorbankannya untuk para penguasa hanya dapat bermakna jika para penguasa memang berjuang untuk keadilan. Apabila politik melahirkan sebuah kekuasaan hierarkis yang tumbuh berkembang justru dalam peran tuan-budak, alih-alih dalam peran simbiosis mutualisme yang setara, mengapa tetap kita asuh bayi iblis tersebut?

Jakarta, 8 Desember 2023

Leave a comment