Manusia, sebuah jati diri yang telah dilupakannya kini tanpa permisi menyeruak bersama rengekan minta perhatian yang meski tak terdengar, namun tetap saja mengusik. Harus diakui bahwa ia telah berkhianat terhadap sahabat setianya tersebut. Pengkhianatan ini bukanlah hasil dari kekecewaan sebagaimana kisah Yudas Iskariot yang menjual Yesus kepada tentara Romawi karena perbedaan konsep mesias yang telah lama dinanti. Namun, ini merupakan buah dari ketakutan layaknya penyangkalan Petrus terhadap Yesus tak lama setelah sumpah kesetiaan pada gurunya diucapkan. Lebih parah dari Petrus, apa yang ia sangkal adalah dirinya sendiri. Ketakutan menjadi dirinya sendiri membuatnya lupa menjadi manusia, meskipun jati diri tersebut tak pernah absen dan selalu bercokol menemani pengembaraannya.
Walau sadar akan kekhilafannya, tetap saja ia kesal karena kemunculan kembali sahabat yang tiba-tiba tersebut. Karenanya, pembalasan dendam dilakukan melalui keluh kesah akan hal yang sama pada sang sahabat, “Tanpa persetujuannya, manusia dilahirkan ke bumi yang penuh dengan penderitaan. Kemudian ia dipaksa menempuh pendidikan bukan demi ilmu itu sendiri, namun demi mendapatkan ijazah yang memuluskannya dalam pencarian pekerjaan. Pekerjaan pun dilakukan bukan demi pekerjaan itu sendiri, namun demi mendapatkan jabatan serta uang. Pada gilirannya semua itu digunakan demi mendapatkan makanan, tempat tinggal, barang-barang, dan juga berbagai hubungan serta pengakuan sosial. Namun, berbagai penunjang hidup ini bersifat semu dan hanyalah kesia-siaan bila pada ujungnya kematian yang menanti. Bila manusia lahir hanya untuk mati, maka hidup manusia tak layak diperjuangkan.” Keluhan ini dilanturkannya bertubi-tubi dalam satu tarikan napas panjang. Penyangkalan pertama telah terjadi.
Continue reading “Menjadi Manusia”