Menjadi Manusia

Manusia, sebuah jati diri yang telah dilupakannya kini tanpa permisi menyeruak bersama rengekan minta perhatian yang meski tak terdengar, namun tetap saja mengusik. Harus diakui bahwa ia telah berkhianat terhadap sahabat setianya tersebut. Pengkhianatan ini bukanlah hasil dari kekecewaan sebagaimana kisah Yudas Iskariot yang menjual Yesus kepada tentara Romawi karena perbedaan konsep mesias yang telah lama dinanti. Namun, ini merupakan buah dari ketakutan layaknya penyangkalan Petrus terhadap Yesus tak lama setelah sumpah kesetiaan pada gurunya diucapkan. Lebih parah dari Petrus, apa yang ia sangkal adalah dirinya sendiri. Ketakutan menjadi dirinya sendiri membuatnya lupa menjadi manusia, meskipun jati diri tersebut tak pernah absen dan selalu bercokol menemani pengembaraannya.

Walau sadar akan kekhilafannya, tetap saja ia kesal karena kemunculan kembali sahabat yang tiba-tiba tersebut. Karenanya, pembalasan dendam dilakukan melalui keluh kesah akan hal yang sama pada sang sahabat, “Tanpa persetujuannya, manusia dilahirkan ke bumi yang penuh dengan penderitaan. Kemudian ia dipaksa menempuh pendidikan bukan demi ilmu itu sendiri, namun demi mendapatkan ijazah yang memuluskannya dalam pencarian pekerjaan. Pekerjaan pun dilakukan bukan demi pekerjaan itu sendiri, namun demi mendapatkan jabatan serta uang. Pada gilirannya semua itu digunakan demi mendapatkan makanan, tempat tinggal, barang-barang, dan juga berbagai hubungan serta pengakuan sosial. Namun, berbagai penunjang hidup ini bersifat semu dan hanyalah kesia-siaan bila pada ujungnya kematian yang menanti. Bila manusia lahir hanya untuk mati, maka hidup manusia tak layak diperjuangkan.” Keluhan ini dilanturkannya bertubi-tubi dalam satu tarikan napas panjang. Penyangkalan pertama telah terjadi.

Continue reading “Menjadi Manusia”

Hipokrit Pria Penebar Moral

“Kukuruyuuukkkk…….,” teriakan ayam jago memotivasi kepercayaan diri sang surya yang masih malu-malu dalam memancarkan cahayanya. Diserang oleh sinar matahari yang perlahan menyilaukan, seorang pria tua berperut buncit menggeliat keluar dari selimut tebal. Seakan tak ingin mengeluarkan energi lebih untuk aktivitas selanjutnya, masih dengan mata tertutup rapat ia duduk bungkuk bersila di atas kasur empuknya, lalu melipat tangan. Sambil sesekali menutup mulut yang menguap, dilafalkannya doa yang telah dihafal di luar kepala. Doa ini sebenarnya penuh dengan makna. Namun, setelah menjadi ritual yang diulang berkali-kali, khasiatnya tak lagi benar-benar dirasakan, kecuali sebagai bentuk pemuasan rutinitas harian semata. Tak nyaman rasanya bila ritme pagi hari yang dibiasakannya sejak masih anak-anak berhenti secara mendadak karena untuk merubah kebiasaan diperlukan usaha besar. Tiba-tiba di tengah kekhyusukan dalam berdoa, perut si pria buncit berbunyi. Ia mencoba menahan rontaan perutnya tersebut, namun apa daya panggilan alami pagi hari tak bisa ditolak mentah-mentah. Laju doa pun dipercepat sehingga terdengar hanya seperti gumaman. Kemudian sebagaimana manusia pada umumnya, segera ia bergegas ke kamar mandi untuk melakukan segala hal yang perlu dilakukan di tempat tersebut.

Keluar dengan perut lega setelah menjatuhkan bom atom sisa jamuan makan malam mewah dan lezat semalam, hanya tinggal satu rutinitas pagi hari yang belum ia lakukan, yaitu memoles diri di depan cermin. Di hadapan cermin, pria tersebut membalut tubuhnya dengan jubah putih berbahan katun ciri khas komunitas tempat di mana ia mengabdi. Dikenakan pula kalung emas murni kesayangan yang dihadiahkan kepadanya di hari pentahbisan. Bukan hanya karena bahan emas murninya, rasa sayang yang muncul dikarenakan pula oleh asal-usul kalung tersebut yang istimewa. Kalung emas itu berasal dari tempat kudus yang dipercaya bahwa mukjizat pernah terjadi di sana. Setelah merapikan kalung itu agar simbolnya terletak di posisi tengah selaras dengan potongan rambut belah tengahnya, secara mantap sang pria tua buncit menenteng buku sakti yang merupakan senjata andalannya dalam peperangan melawan kejahatan. Tak pernah ia lupakan buku sakti ini. Begitu saktinya, buku ini seakan memiliki imunitas penuh dari berbagai terjangan kritikan selama ratusan tahun. Derasnya hujan kritik sering kali tak mumpuni untuk memadamkan api kemarahan nyata di dunia ini serta api pembalasan imajinatif di dunia sana. Akhirnya, lengkap mengenakan seluruh aksesoris, ia pun tersenyum bangga mengagumi penampilan necis hariannya sambil berbicara pada pantulan dirinya sendiri dalam cermin,

Continue reading “Hipokrit Pria Penebar Moral”